what kind of wind?
still the same kind of wind, a wind that is intangible (and can only be felt).
Atensi yang Janan miliki berpindah dari ponselnya kepada orang yang duduk di hadapannya dan memandangnya.
“Jay, kenalin, ini Janan. Temen gua.” Ucap Putra.
Dhana miringkan kepala dengan satu alisnya terangkat seraya alihkan perhatiannya dari Putra menuju laki-laki di samping Putra yang baru saja diberitahu kalau Janan ialah namanya. Dhana sungguh berusaha penuh tahan tawanya saat ia ajukan tangan kanan sebagai tanda ajakan untuk bersalaman dan berkenalan. Janan tarik napasnya dengan tundukkan sedikit kepala lalu pejamkan mata; ia rutuki kalimat Galih yang ingatkan perihal kualat atas permainan pura-puranya. Selang beberapa detik, ia buka matanya yang tentu masih disambut dengan tangan kanan serta senyum Dhana yang Janan rasa rupanya layak cemooh.
“Janan.” Tuhan, malunya. Meski begitu ia tetap jabat tangannya.
“Jaya, atau Dhana juga gapapa.” Balas Dhana masih dengan senyumnya.
Janan hanya mengangguk dan alihkan pandangannya ke manapun asal bukan laki-laki yang duduk di hadapannya. Ia juga bersyukur karena tak lama datang juga kudapannya. Bersumpah Janan dalam hatinya kalau ia mau cepat selesaikan acara makan malamnya. Janan, sumpah dalam hati kamu tidak ada artinya karena Dhana—masih dengan senyumnya, akan utarakan tanya tanpa banyak dilema.
“Janan, what do you do? If I may know,” tanya Dhana. Putra lirik Dhana yang tiba-tiba bertanya dan menurutnya aneh saja.
Janan hentikan makannya. “For now, I… I’m just waiting for the, um, acceptance announcement to be a lecturer.” Ah, mampusnya. Menurut Janan, ini pasti sengaja.
“You what? Gua gak tau?” sambung Putra yang belum tahu apa-apa.
“Sorry… belum sempet kasih tau. Baru hari ini juga wawancara sama ujiannya.” Putra hanya cebikkan bibir saat dengar jawabnya.
Praduga Janan kalau pertanyaan Dhana tadi adalah sengaja memang ada benarnya. “Dosen, ya? Bukan mahasiswa?” Dhana masih mau tanya.
Janan mendengus tunjukkan senyum meyakinkan—ia mengerti kalau ini bentuknya adalah goda. Janan angguki tanyanya. “Mm. Dosen.”
Dhana pula mengangguk dan katakan, “Good luck on that.”
“Thank you.”
Makan malam mereka selesai dengan kikuk yang Janan temui karena duduk berseberangan dengan Dhana. Meski begitu ia nikmati, sih, makan malamnya. Sepanjang makan malam berlangsung, Janan menilai bahwa Dhana cukup hebat dalam melibatkan dirinya di sebuah percakapan. Terlepas dari tanya-tanya sindiran kepura-puraan Janan waktu bertemu Dhana di kampus, Janan pikir kalau Dhana terlihat cukup baik untuk jadi seorang kenalan atau teman. Pun sepanjang makan malam berlangsung, Janan tidak sadari kalau Dhana lirik dirinya sekali-sekali.
“Lu serius gak mau bareng gua sama Putra aja, Jan?” tanya Hasta.
Janan menggelengkan kepalanya, “Gak usah, Has. Gua juga ada mau mampir ke minimarket depan dulu sebentar.”
“Ya, gapapa, Hasta sama gua tungguin!” ujar Putra.
“Gak usaaaah, Putra. Gua naik taksi online aja nanti. Udah sana, deh, pulang.” Pinta Janan.
Putra lanjut bertanya, “Terus kalo lo, Jay?”
Dhana mengangkat kedua alisnya, “Gua? Ini gua mau balik juga.”
“Yaudah, gua sama Putra duluan, ya.” Pamit Hasta.
Hasta dan Putra melangkah jauh tinggalkan mereka berdua, Janan dan Dhana. “Mau ke minimarket apa ngurus yudisium, Nan?”
Tanyanya buat Janan menoleh, Dhana pun lanjuti, “Nan, Janan. Menurut gua enakan Nan, daripada Jan.”
“Sure.” Janan angguk-angguk sepakat saja. Baru kali ini juga ada orang selain ayahnya yang panggil ia dengan ‘Nan’ alih-alih ‘Jan’. Lalu ia sambung, “gua beneran mau ke minimarket, ngomong-ngomong. Gak mungkin, ‘kan, ngurus yudisium di minimarket?”
Dhana tertawa kecil, malah dibuat canda oleh Janan ternyata. “Okay.”
Janan melangkah pergi menuju minimarket di seberang jalan dan menyadari kalau ada yang mengkutinya. Janan berbalik, “Are you following me by any chance?”
“I’m not. I can go there too, can’t I?”
Janan menghela napasnya lemah. “Of course you can.”
Kalau boleh jujur, tidak ada yang Dhana perlu beli di minimarket. Ia hanya ingin saja, tidak tahu juga kenapa. Maka terlihatnya sekarang Dhana seperti buntuti Janan yang berlajan ke arah lemari pendingin. “Beneran ngikutin gua, ya?” todong Janan dengan kedua alisnya yang menyatu curiga.
“Nggak, Nan. Mau ngambil minum juga gua, tuh.” Dhana bela dirinya.
Janan hanya sipitkan matanya curiga sebagai reaksi. Bodo amat, deh.
Janan berdiri minum kopi kalengnya di depan minimarket. Betul, betul sekali, ia beli dan minum kopi di malam hari. Dhana yang juga di sana berdiri dengan sekotak susu di tangannya tidak tahu apa yang Janan punya dari minum kopi di malam hari sebagai ekspektasi. “Emangnya bakal bisa tidur minum kopi jam segini?”
“Bisa. Gak tau kenapa tapi kopi gak ngaruh sama jam tidur gua.” Jawab Janan. Lalu Janan ubah posisi dirinya menghadap Dhana, “katanya mau pulang?”
“Lu juga kenapa belum pulang? Udah pesen taksi belum?”
“Nanti, ini abis baru, deh, gua pesen.”
Janan masih berdiri menghadap Dhana, ia mengamati dari atas sampai bawah perawakan laki-laki yang sedang minum susu kotak sambil melihat jalanan itu. Dhana sadar kalau atensi Janan sedang ada padanya, soal ini ia cukup jitu. Lalu, Dhana sadar kalau angin baru saja melewatinya dan hembuskan delapan puluh persen keberanian yang kedua hari ini sebab Dhana utarakan tanya setelah lirik arlojinya, “Mau pulang bareng gua aja gak, Nan? Udah mau jam sebelas.”
Janan masih amati gerak-gerik Dhana yang perlahan hadapannya juga mengarah kepadanya. “Kalau mau aja.” Lanjut Dhana.
“It’s safer with you, ya, daripada taksi online?” Tanya Janan dengan ujung kiri bibirnya tertarik.
“Iya, dong. Tapi kalau gak mau, ya, gapapa. I just think it’s kinda late already.”
Nyatanya, memang tidak hanya ada Dhana saja saat angin berhembus di sana. Kalau Dhana delapan puluh persen, maka dua puluh persen dari seratus persennya Janan ambil cuma-cuma; ia menimang tawaran Dhana sampai temui dirinya benar-benar duduk di kursi depan penumpang mobil Dhana sekarang. Dua puluh persennya juga buat Janan percaya saja waktu Dhana minta ia untuk masukkan alamat rumahnya ke Google Maps di ponselnya.
“‘Kan ada gua, kenapa harus pake Maps?” tanyanya sambil mengetik alamat rumahnya di ponsel Dhana.
“Takut lu ketiduran. Biar gampang aja.”
“Gua gak bakal ketiduran di mobil orang yang baru gua kenal, Dhan.” Dhana menoleh sekilas waktu Janan sebut namanya. Dari mereka bertemu dan tahu nama satu sama lain, belum Janan sebut namanya sama sakali.
“Gua lebih suka manggil Dhana, kayaknya.” Dhana hanya mengangguk dan ulaskan senyum di wajahnya yang tidak Janan lihat.
Pun demikian, tidak meleset kalimat Dhana tentang ketakutannya kalau Janan akan tertidur sampai mereka sudah tepat berada sesuai dengan alamat yang Janan masukkan ke dalam Google Maps.
“Janan? Bangun, Nan. Kita udah sampe. Bener ini, ‘kan, rumahnya?”
Janan tersentak dan dapati bahwa benar kalau mereka sudah di depan rumahnya. Setengah sadar ia melepas sabuk pengaman yang memeluk tubuhnya dan utarakan, “Makasih,” dengan suara kecil berserak, lalu keluar berjalan terhuyung menuju pagar yang dibukakan oleh satpam rumahnya. Dhana yang menyaksikan Janan lewat jendela mobil temukan dirinya mendengus berucap: lucu, ada-ada saja, dalam hatinya.