i want you around
Pertemuan mereka hari ini berjalan sangat baik. Rangkaiannya berakhir dengan sangat baik. Satu sama lain rasa kalau mereka mudah sekali akrab. Menyenangkan, kejutnya. Tapi tidak cukup heran sebab beberapa dari mereka kenal satu sama lain dan sudah berteman lama. Rangkaian berakhir, mereka mulai kemasi barang-barang mereka sebelum berangkat dari tempat. Misal, Saputra, yang pertama ucapkan selamat tinggal sebab ada urusan lain, nih, abis ini, katanya.
Diikuti Galih yang serukan pamitnya pada Dhana yang duduk di seberangnya, “duluan ya, Jay!” Kemudian pada Janan di sampingnya dan dengan sengaja senggol lengannya mengerling, “Aku sama Lian duluan, ya.”
Janan kenali maksud dari kerlingan Galih. Ada goda yang ditujukan untuknya sebab Dhana kini yang ada di seberangnya belum juga bangkit, sama sepertinya. Janan balas pamitnya dengan mata memicing, “Udah, deh, sana balik cepetan.”
Hampir lima menit usai perginya teman-teman, hanya tersisa mereka dan barang-barang yang pun sudah terkemas rapi. “Nggak balik, Nan?”
“Mau take away kopi dulu.” Janan tatap Dhana di hadapannya dengan tanya, “nggak balik? Tadi berangkat sama Balung bukannya?”
“Sekarang balik sendiri, ini mau pesen taksi online, sih. Putra, ‘kan, ada urusan lain, tuh, katanya.” Jawab Dhana.
“Iya, ya…” Gumamnya dengan angguk kecil. Kemudian susunan kalimat setengah hati berbesar ragu lolos dari bibir Janan; mereka lahir bukan dari rasa tidak enak Janan sebab hanya mereka yang tersisa di tempat. Niat Janan terletak pasti pada sebab ingin antar saja—jika bisa, jika terdengar etis saat ia utarakan tawaran, “mau bareng gua aja nggak, Dhan?”
Selayang macam praduga lewati kepala Janan saat keduanya tukar tatap saat senyap mulai yakini Janan kalau tawarannya—boleh jadi—memang tidak terdengar etis. “It’s okay if you don’t want to–”
Dhana potong di sana, “No… no. I was just thinking, kayak, takut ngerepotin.”
“Nggak bakal ngerepotin, Dhan. Lu juga beberapa kali pernah nganterin gua, ‘kan.”
Dhana timang akar dari kata mau dan tidak dalam benaknya, “Is it really okay, Nan…?”
“Of course it is, Dhan! Tunggu gua pesen kopi bentar, ya? Mau juga nggak? Abis itu kita cabut.”
“Nggak usah, Nan, I’m fine! I’ll just wait for you here.”
Kekehnya Janan lembut, “Okay, please wait for me here.”
Dhana tilik punggung Janan yang tinggalkan dirinya sebentar untuk segelas kopi. Ia tarik dan hela napasnya saat pikirkan apa yang buat dirinya terpikat untuk pulang bersama Janan. Ramainya jiwa di sana termasuk miliknya dan Janan kiranya belum dapat tebak perkara mengapa ragu mereka diselimuti kuatnya ingin. Kemudian tiliknya masih di punggung Janan sampai sosoknya berbalik dan berjalan kembali mendekat hampiri Dhana.
“Udah beres, Dhan? Yuk?”
“Yuk. Mau gua aja yang nyetir nggak, Nan?”
“Jangaaan, gua aja gapapa. Sumpah nggak bakal ketiduran.”
Dhana beri tawa. Ulasnya berseri dengan matanya yang menyipit—Janan cukup taruh perhatian padanya. “Nggak maksud merujuk ke waktu lu ketiduran itu, tau.”
Sedikit mencebik dan angkat kedua bahunya Janan balas, “Yah, ‘kan, siapa tau ajaaa. Misal lu nggak yakin gitu?”
“Yakin, kok. Percaya 98%, nih, sekarang.”
“2% lagi?”
“Kuasa Tuhan aja,” tutur demi tutur mereka kerap hanya diikuti senyum dan tawa seraya berlenggang keluar menuju parkiran.
Dhana menoleh pada Janan di sampingnya. Dhana dapati Janan berada di balik kemudi. Janan dengan hitam rambutnya yang tebal dan langit yang mulai menggelap sebab kini dekati jam enam sore masih tampak bak udara segar pagi hari, tentu yang tanpa polusi. “Janan,”
Matanya yang hilang di merahnya lampu lalu lintas beralih, “Kenapa? Gua nggak salah salah jalan, ‘kan, Dhan?”
“Nggak, kok, hahaha. Mau bilang nanti kita bakal lewatin supermarket di depan.”
“Okeee?”
“Gua turun di sana ajaaa, ada yang perlu gua beli soalnya. Jadi gak perlu sampe ke apart gua.”
“Eh?” Kedua alisnya naik, “Gua juga mau ke supermarket, sih… kalau gitu bareng aja… Gapapa, gak?”
Selain tanya, netranya juga lekat tertuju pada Janan. “Serius?”
“Iya… serius.” Janan kembali pada jalanan di muka, “selain ngisi kulkas, gua sebenernya mau coba masak dari resep yang lu kasih, sih… Jadi emang perlu beli bahan-bahannya sekarang, sekalian.”
“Fricassée? Atau? Gua bisa masakin, Nan, kalau lu mau…”
Sekilas Janan menoleh, “Hm?”
“Hm?” Sepersekian detik Dhana sadar atas ujarnya, “maksudnya… Maksudnya, gua bisa masakin dulu gitu…? You try mine, gua tau lu pasti udah pernah makan itu juga tapi, kayak, siapa tau mau coba dari yang gua buat dulu…? Kalau udah coba dari gua, kita bisa masak itu bareng nanti, kalau mau…?”
“Boleh, sih…”
“Hah?”
“Ya?”
Ada semburat di pipi keduanya yang tidak mereka bisa lihat sebab malu untuk ambil tatap. Janan yang berpusat dengan setir dan lalu lalang di sana, Dhana yang kepalanya enggan berpaling dari jendela di sebelah kirinya. Setelahnya ada dengus tawa tertahan terdengar dari mereka yang lamban-lamban jadi tawa penuh. Kemungkinan sebabnya ialah kikuk yang duduk di kursi belakang, kemungkinan sebab lainnya ialah manis yang mengekang.
“I mean, um,” ucap Janan terputus.
“I can cook for you, right?”
“Yeah… Mau coba, sih, masakan seorang Dhana itu…”
“Okay!”
“Ini serius, ya?”
“Serius, lah!” Sisa-sisa tawa mereka kini jadi kedua tarikan di ujung bibir.
“Nanti-nanti itu, kalau masak bareng, you have to come to my place dong, ya?”
Dhana meringis, “Iya, my old place, sih, ya? Hahahaha.”
Maka dapat ditemui keduanya kini tengah dorong troli dan penuhi kebutuhan masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk Janan kenali bahan-bahan yang ia butuhkan sebab ada Dhana yang merupakan empu pemilik resep bersamanya. Sebagian besar Dhana jadi yang ambil keputusan atas pilihan dari berbagai macam bahan yang tersedia dengan Janan yang angguk-angguk bersama sebagian besar jawabnya: (1) iya, (2) oke, dan (2) aaah, oke! terucap pada Dhana. Ini kali pertama sejak Janan terakhir pergi ke supermarket bersama seseorang—yang mana adalah Galih, pun itu tidak selalu, seringnya Janan sendiri. Sesekali Janan ikuti Dhana di belakangnya, sesekali Janan yang pimpin arahnya, sesekali mereka beriringan lewati lorongnya. Janan hanya tahu bahan-bahan dasar yang biasa ia temui, hal itu buatnya jadi banyak tanya selama keduanya kelilingi supermarket dan antusias Dhana terletak pada jawabnya.
Dalam waktu singkat diamnya Janan setelah tanya atau bicara, Dhana jumpai pribadinya yang damai dan pesam—atau Dhana belum tahu kalau Janan mahir sembunyikan rumitnya sentimen di sana sebab nyatanya ia punya luapan kata yang berusaha tenggelami dirinya di hadapan Dhana. Jadi renungan Dhana juga bahwa Janan ialah orang yang benar-benar baru baginya. Barangkali terlampau sedikit yang ia tahu tentang Janan, pun barangkali terlampau besar harapnya untuk tahu lebih tentang Janan. Meskipun demikian, kikuk yang benak keduanya kira akan kembali lapisi ruang di antara mereka—mengingat kembali apa yang belum lama terjadi mobil—berlawanan dengan dekat yang tampak bagi mata yang bisa lihat.