Ah, bohongnya!
Sebab keduanya seperti miliki waktu luang tersisa yang senang hati digunakan untuk bermain laga dan berpura-pura.
Setelah melalui perjalanan yang tidak terlalu lama, Dhana dan Zidan akhirnya sampai di bulevar gedung fakultas. “Mas Dhana tunggu di lobi dalem sana, ya,” pinta Zidan.
“Gua gak ikut aja, nih?”
“Gak usah. Idan mau ke gedung rektorat dulu baru ke akademik.”
“Ngapain ke rektorat?”
Zidan mendengus dan memutar matanya, Mas Dhana banyak tanya. “Sertif TI diambilnya di sana kata temen Idan. Tunggu, ya.”
Maka Dhana mengangguk saja turuti pinta sepupu yang usianya jauh lebih muda darinya. Kemudian, Dhana berjalan memasuki fakultas tempat dulu ia menempuh pendidikan tingginya. Ia pikir-pikir lagi, ternyata sudah lama, ya. Ia ingat-ingat lagi, beberapa kenangan belajarnya mungkin penuh tekanan tetapi tentu menyenangkan pula ia rasa. Pandangan Dhana berpendar pada kursi-kursi yang disediakan di lobi, ini sudah memasuki libur semester dan fakultas tampak sepi; ia putuskan untuk pilih kursi di samping laki-laki yang sedang duduk menyendiri.
Dua puluh lima menit pun terlewati, Dhana mulai berpikir kalau Idan lama juga, ya. Ia lirik laki-laki di sampingnya yang terlihat sedang memangku beberapa lembar cetakan kertas. Lalu, seperti dapati angin berupa delapan puluh persen keberanian, Dhana putuskan ajak bicara laki-laki di sampingnya.
“Lagi ngurus yudisium juga, ‘kah?”
“Hm? Saya?” laki-laki itu menunjuk dirinya sendiri.
“Iya.”
Laki-laki itu berpikir sampai hening di antara mereka hadir. Ini buat Dhana kikuk, merasa tidak enak–sebabkan ia meringis walau tidak sampai menangis. “Eh, sorry, kalo sok akrab dan bikin gak nyaman… gak usah dijawab gapapa.”
“Eh, iya, gapapa. Maaf saya tiba-tiba diem, I was just thinking.” Balasnya yang kemudian ia sambung, “and, ya! Sure! Saya lagi… ngurus yudisium.”
Bohong, Janan–nama laki-laki yang tidak Dhana ketahui ini berbohong. Tapi, Janan miliki kemampuan cukup lihai untuk yakinkan orang di sampingnya ini dengan senyuman yang sepertinya Dhana tidak sadari sebetulnya begitu jail.
“Oh? Saya ke sini sama adik sepupu saya, dia ngambil sertif buat ngurus yudisium juga.” Ujar Dhana.
“Iya? Prodi apa?”
“Antropologi. Kamu?”
“Hm? Antropologi.” Janan, Janan. Antropologi?
“Lho, angkatan 2019 juga bukan?”
Dua ribu sembilan belas terdengar masuk di akal Janan. Demikian ia cuma kembali beri senyum paling ramahnya. Tentu, ia jawab pertanyaan Dhana dengan senyum ramah tersebut sampai menyipit matanya. “Iya!”
Dhana tersenyum mengangguk tanda paham kalau laki-laki ini barangkali salah satu teman Zidan. Bersamaan dengan itu Dhana lihat sosok Zidan yang berjalan menghampirinya dari pintu utama fakultas. “Eh, itu adik sepupu saya. Kenal gak?”
Wah, mampus, benak Janan mengumpat. Janan menengok ke arah adik sepupu yang Dhana sebutkan; di sana Zidan berjalan mendekat dan sempat lihat Janan. Sadari itu, Janan buru-buru mengecek arloji di tangan kirinya–yang ini bukan bagian dari kebohongan dan pura-pura, ia masih harus hadiri wawancara. “Maaf, kayaknya saya harus pergi duluan, hehe. Permisi, ya, Mas.”
“Eh? Oke, deh?” Dhana menaikkan kedua alisnya tanda bingung; laki-laki itu bangun dan pergi tinggalkan Dhana seperti orang linglung.
Sampai Zidan berdiri di hadapan Dhana. “Mas Dhana ngobrol sama siapa?”
“Mahasiswa. Satu prodi sama lu tuh, seangkatan juga.”
“Hah? Masa, sih?” ucap Zidan dengan raut penuh tanya.
“Iya, tadi katanya lagi ngurusin yudisium juga.”
“Mas Dhana sok akrab bener ngajak mahasiswa ngobrol.”
“Yeee, lagian lu lama banget. Gua bosen nunggunya.” Protes Dhana.
“Idan tadi papasan sama temen terus ngobrol bentar, makanya lama.”
“Yaudah, deh, yuk. Mas Dhana buru-buru.” Zidan mengangguk dan ikuti Dhana melangkah bertujuan tinggalkan fakultas.
Omong-omong, Zidan betulan sempat, kok, lihat laki-laki itu. Satu program studi? Satu angkatan? Zidan ini ketua angkatan dua ribu sembilan belas, pula seingatnya belum pernah ada sampai delapan puluh jumlah dari mereka. Tidak tahu siapa yang senang-senang mengerjai Dhana tadi, tapi Zidan tidak kenal sosoknya; cekikikan dalam hatinya ia seraya mengangkat bahu dan cebikkan bibirnya.